Para peneliti melaporkan, wanita yang keinginan seksualnya berkurang selama menopause lebih banyak melaporkan gangguan tidur, keringat malam dan depresi. Menurut studi yang dipublikasikan pada edisi Juni 2007, American Journal of Obstretics and Gynecology, 341 partisipan peri-dan pasca menopause dalam trial acak terapi alternatif menopause, 64% melaporkan libido yang berkurang, 18% dengan depresi sedang sampai berat dan 43% mengalami kualitas tidur yang jelek.
Susan D. Reed, M.D., M.P.H., dari Universitas Washington dan koleganya mengatakan, faktor-faktor yang berkaitan dengan penurunan libido pada wanita usia pertengahan begitu kompleks, termasuk depresi, gangguan tidur dan keringat malam hari. Semuanya merupakan gejala-gejala umum masa transisi menopause dan awal menopause. Tampaknya masuk akal bahwa keringat malam dapat mengganggu tidur dan kekurangan tidur mengurangi energi untuk yang lain, termasuk aktivitas seks, kata Dr. Reed.
Data diperoleh dari survey tahun 2001-2002 pada 341 wanita berumur 45-55 tahun, dalam studi Group Health’s Herbal Alternative for Treatment of Menopause Symptoms (HALT), sebuah trial terkontrol plasebo yang menyelidiki terapi alternatif bagi menopause. Wanita yang mengalami paling sedikit 2 hot flushes atau keringat malam per hari dan tidak mengunakan terapi sulih hormon, termasuk penanganan herbal untuk tiga bulan sebelum menjalani studi. Hasrat seksual atau libido diukur menggunakan modifikasi Index of Female Sexual Function, sebuah alat yang sudah divalidasi sebelumnya.
Partisipan studi rata-rata mengalami 4,6 kali hot flushes dan 1,9 kali keringat malam per hari. Gejala-gejala depresi (P=0,003), gangguan tidur (P=0,02) dan keringat malam (P=0,04), tapi bukan hot flushes yang secara bermakna berkaitan dengan berkurangnya libido, demikian menurut laporan para peneliti. Temuan ini berlawanan dengan studi lain yang mengantisipasi bahwa anak-anak yang tinggal dalam rumah mempengaruhi turunnya libido orang tua. Para peneliti juga menemukan bahwa wanita yang libidonya turun lebih kurang suka untuk ‘dipuaskan oleh pasangannya’ (P<0,0001).
Penggunaan anti depresan trisiklik, suatu inhibitor selektif pengambilan kembali serotonin, atau St. John’s wort tidak berkaitan dengan penurunan libido (P=0,98), demikian pula penggunaan obat-obat tidur.
Sejalan dengan studi lain yang sejenis, wanita dengan disparenia atau kekeringan vagina lebih banyak kemungkinan mengalami penurunan libido. Temuan tidak diharapkan pada wanita yang memerlukan penghentian terapi sulih hormon.
Berlawanan dengan temuan sebelumnya, para peneliti mengatakan bahwa mereka tidak menemukan kaitan antara penurunan libido dengan penggunaan obat-obat antidepresan, tapi hanya 41 wanita (11,7%) yang menggunakan antidepresan. Yang lain (3,8%) melaporkan penggunaan obat-obat bebas (contoh St. John wort) untuk depresi mereka.
Kualitas tidur yang jelek berkaitan dengan depresi dan keringat malam. Namun demikian, karena kaitan yang tinggi ini, para peneliti tidak dapat manguji kaitan independen mereka dengan libido. Para peneliti menemukan, ketika wanita dengan depresi dikeluarkan dari analisa, kaitan turunnya libido dan keringat malam tetap bermakna, sedangkan kaitan turunnya libido dan gangguan tidur tidak lagi bermakna.
Lebih jauh, karena kurangnya data, para peneliti tidak dapat mempelajari pentingnya faktor risiko lain yang dapat menurunkan libido yang sebelumnya dijelaskan, termasuk status sosial, lamanya hubungan dengan pasangan, sejarah kekerasan seksual dan kadar hormon yang berkurang.
Diantara keterbatasan studi, para peneliti mencatat bahwa rancangan yang mewakili keseluruhan sehingga tidak dapat menguji perubahan melewati periode transisi menopause dan pasca menopause. Karena para wanita tidak menggunakan hormon, studi tidak dapat menemukan efek terapi hormon terhadap kaitan yang tidak terungkap dalam studi. Juga mayoritas wanita dalam studi ini adalah kulit putih. Para peneliti mengatakan, mengatasi depresi dengan terapi non farmakologi dan menangani kesulitan tidur serta gejala-gejala vasomotor malam hari adalah langkah penting dalam perbaikan libido pada wanita paruh baya.
Dr. Reed dan koleganya menyimpulkan, “Namun demikian, hal yang penting untuk diingat bahwa faktor-faktor yang bermakna ini bagi para wanita kebanyakan tertutupi oleh pentingnya hubungan intim dengan pasangan mereka.”
Susan D. Reed, M.D., M.P.H., dari Universitas Washington dan koleganya mengatakan, faktor-faktor yang berkaitan dengan penurunan libido pada wanita usia pertengahan begitu kompleks, termasuk depresi, gangguan tidur dan keringat malam hari. Semuanya merupakan gejala-gejala umum masa transisi menopause dan awal menopause. Tampaknya masuk akal bahwa keringat malam dapat mengganggu tidur dan kekurangan tidur mengurangi energi untuk yang lain, termasuk aktivitas seks, kata Dr. Reed.
Data diperoleh dari survey tahun 2001-2002 pada 341 wanita berumur 45-55 tahun, dalam studi Group Health’s Herbal Alternative for Treatment of Menopause Symptoms (HALT), sebuah trial terkontrol plasebo yang menyelidiki terapi alternatif bagi menopause. Wanita yang mengalami paling sedikit 2 hot flushes atau keringat malam per hari dan tidak mengunakan terapi sulih hormon, termasuk penanganan herbal untuk tiga bulan sebelum menjalani studi. Hasrat seksual atau libido diukur menggunakan modifikasi Index of Female Sexual Function, sebuah alat yang sudah divalidasi sebelumnya.
Partisipan studi rata-rata mengalami 4,6 kali hot flushes dan 1,9 kali keringat malam per hari. Gejala-gejala depresi (P=0,003), gangguan tidur (P=0,02) dan keringat malam (P=0,04), tapi bukan hot flushes yang secara bermakna berkaitan dengan berkurangnya libido, demikian menurut laporan para peneliti. Temuan ini berlawanan dengan studi lain yang mengantisipasi bahwa anak-anak yang tinggal dalam rumah mempengaruhi turunnya libido orang tua. Para peneliti juga menemukan bahwa wanita yang libidonya turun lebih kurang suka untuk ‘dipuaskan oleh pasangannya’ (P<0,0001).
Penggunaan anti depresan trisiklik, suatu inhibitor selektif pengambilan kembali serotonin, atau St. John’s wort tidak berkaitan dengan penurunan libido (P=0,98), demikian pula penggunaan obat-obat tidur.
Sejalan dengan studi lain yang sejenis, wanita dengan disparenia atau kekeringan vagina lebih banyak kemungkinan mengalami penurunan libido. Temuan tidak diharapkan pada wanita yang memerlukan penghentian terapi sulih hormon.
Berlawanan dengan temuan sebelumnya, para peneliti mengatakan bahwa mereka tidak menemukan kaitan antara penurunan libido dengan penggunaan obat-obat antidepresan, tapi hanya 41 wanita (11,7%) yang menggunakan antidepresan. Yang lain (3,8%) melaporkan penggunaan obat-obat bebas (contoh St. John wort) untuk depresi mereka.
Kualitas tidur yang jelek berkaitan dengan depresi dan keringat malam. Namun demikian, karena kaitan yang tinggi ini, para peneliti tidak dapat manguji kaitan independen mereka dengan libido. Para peneliti menemukan, ketika wanita dengan depresi dikeluarkan dari analisa, kaitan turunnya libido dan keringat malam tetap bermakna, sedangkan kaitan turunnya libido dan gangguan tidur tidak lagi bermakna.
Lebih jauh, karena kurangnya data, para peneliti tidak dapat mempelajari pentingnya faktor risiko lain yang dapat menurunkan libido yang sebelumnya dijelaskan, termasuk status sosial, lamanya hubungan dengan pasangan, sejarah kekerasan seksual dan kadar hormon yang berkurang.
Diantara keterbatasan studi, para peneliti mencatat bahwa rancangan yang mewakili keseluruhan sehingga tidak dapat menguji perubahan melewati periode transisi menopause dan pasca menopause. Karena para wanita tidak menggunakan hormon, studi tidak dapat menemukan efek terapi hormon terhadap kaitan yang tidak terungkap dalam studi. Juga mayoritas wanita dalam studi ini adalah kulit putih. Para peneliti mengatakan, mengatasi depresi dengan terapi non farmakologi dan menangani kesulitan tidur serta gejala-gejala vasomotor malam hari adalah langkah penting dalam perbaikan libido pada wanita paruh baya.
Dr. Reed dan koleganya menyimpulkan, “Namun demikian, hal yang penting untuk diingat bahwa faktor-faktor yang bermakna ini bagi para wanita kebanyakan tertutupi oleh pentingnya hubungan intim dengan pasangan mereka.”

Komentar
Posting Komentar